BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seperti kita ketahui bahasa dan masyarakat merupakan dua
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, tidak mungkin ada masyarakat tanpa
bahasa dan tidak mungkin pula ada bahasa tanpa masyarakat.Namun seiring
berjalannya waktu dalam suatu bahasa juga dapat terjadi pergeseran, hal ini
terjadi karena dipengaruhi berbagai hal diantaranya perkembangan ilmu dan
teknologi.Seperti kita ketahui pula bahwa fungsi bahasa secara umum adalah
sebagai alat komunikasi social. Bahasa adalah suatu wahana untuk kita
berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian setiap anggota masyarakat
tentunya memiliki dan menggunakan alat komunikasi social tersebut.Tidak ada
bahasa tanpa masyarakat dan tidak ada pula masyarakat tanpa bahasa.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka bahasa pun mengalami perubahan yang sangat signifikan.Hal ini disebabkan
karena bahasa memang tidak lepas dari masyarakat. Dua hal ini saling berkaitan,
begitu pula dengan bahasa indonesia yang diangkat dari bahasa Melayu yang
bersifat lingua franca sebagai bahasa penghubung yang tersebar di Nusantara
hingga saat dirumuskannya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu yang
menjadi bahasa negara, sejak itupun perkembangan bahasa Indonesia terus
berkembang, beribu-ribu istilah dan kata-kata baru bermunculan, dari segi
struktur kita tingkatkan swadayanya sehingga kita dapat rumuskan segala
pemikitan yang tinggi dan rumit dalam bahasa Indonesia, sehingga bahasa
Indonesia menjadi bahasa yang canggih yang dapat memenuhi kebutuhan
masyarakatnya yang juga berkembang dan modern.
B. Rumusan masalah
Dengan
mengetahui latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimaksud bahasa dan tutur
2.
Apa
yang dimaksud verbal repertoire
3.
Apa
yang dimaksud masyarakat tutur
4.
Bagaimana
bahasa dan tingkatan bahasa dalam masyarakat
5.
Bagaimana
hubungan bahasa dan masyarakat
6.
Apa
saja fungsi bahasa dan masyarakat
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui bahasa dan tutur
2. Untuk
mengetahui verbal repertoire
3. Untuk
mengetahui masyarakat tutur
4. Untuk
mengetahui bahasa dan tingktaran bahasa dalam masyarakat.
5. Untuk
mengetahui hubungan bahasa dan masyarakat
6. Untuk mengetahui fungsi bahasa dan
masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Bahasa
dan Tutur
Bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem
sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang
memiliki arti.Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai
berikut:
1.
Suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2.
Suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke
dalampikiran orang lain.
3.
Suatu kesatuan sistem makna.
4.Suatu
kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antarabentuk
dan makna.
5.
Suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh:
Perkataan,kalimat, dan lain-lain.)
Ferdinand de Saussure (1946)
membedakan antara yang disebut dengan langage,
langue, dan parole. Ketiga istilah yang bersal dari bahasa Prancis itu,
dalam bahasa Indonesia secara tidak cermat, lazim dipadankan dengan satu
istilah yaitu bahasa.Padahal
ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda meskipun ketiganya sama-sama
bersangkutan dengan bahasa.
Dalam bahasa Prancis istilah langage
digunakan untuk menyebut bahasa sebagai system lambang bunyi yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal diantara sesamanya.Langage
ini bersifat abstrak.Barangkali istilah langage dapat dipadankan kata bahasa
seperti terdapat dalam kalimat “Manusia mempunya bahasa, binatang tidak”.Jadi,
penggunaan istilah bahasa dalam kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage,
tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya,
sebagai alat komunikasi manusia.Binatang juga melakukan kegiatan komunikasi,
tetapi alat komunikasi yang digunakan bukan bahasa.
Istilah kedua dari Ferdinan de
Saussure yakni langue dimaksudkan sebagai sebuah system lambang bunyi yang
digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan
berinteraksi sesamanya. Jadi langue mengacu pada sebuah system lambang bunyi
tertentu yang barangkali dapadankan dengan bahasa dan kalimat “ Nita belajar
bahasa Jepang, sedangkan Dika belajar bahasa Inggris” sama dengan langage yang
bersifat abstrak, langue juga bersifat abstrak, sebab baik langue maupun
langage adalah suatu system berpola, keteraturan atau kaidah yang ada atau
dimiliki manusia tetapi tidak nyata-nyata digunakan.
Berbeda dengan langage dan langue
yang bersifat abstrak, maka istilah yang ketiga yaitu parole bersifat konkret,
karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau
tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau
berkomunikasi sesamanya.Parole disini barangkali dapat dipadankan dengan bahasa
dalam kalimat. “Kalau beliau berbicara bahasanya penuh dengan kata daripada dan akhiran ken”. Jadi istilah parole itu tidak
bersifat abstrak, nyata dan dapat diamati secara empiris.
Setiap orang secara konkret memiliki
kekhasan sendiri-sendiri dalam berbahasa (berbicara dan menulis).Kekhasan ini
dapat mengenai volume suara, pilihan kata, penataan sintaksis, dan penggunaan
unsur-unsur bahasa lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita akrab dengan seseorang,
kita akan dapat mengenali orang itu hanya dengan mendengar suaranya saja
(orangnya tidak tampak), atau hanya dengan membaca tulisannya saja (namanya
tidak disebutkan dalam tulisan itu). Ciri khas bahasa seseorang disebut dengan
istilah idiolek. Jadi kalau ada 1000 orang, maka akanada 1000 idiolek.
Secara linguistik dapat disimpulakan
bahwa setiap bahasa sebagai langue dapat
terdiri dari sejumlah dialek, dan setiap dialek terdiri dari sejumlah
idiolek. Namun perlu dicacat bahwa dua
buah dialek yang secara linguistik adalah sebuah bahasa, karena anggota dari
kedua dialek itu bisa saling mengerti, tetapi secara politis bisa disebut
sebagai dua buah bahasa yang berbeda.
1.2
Verbal Repertoire
Verbal Repertoire sebenarnya ada dua
macam yaitu yang dimiliki setiap penutur secara individual dan yang merupakan
milik masyarakat tutur secara keseluruhan.Yang pertama mengacu pada alat-alat
verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih
norma-norma sosial bahasa dengan situasi dan fungsinya.Yang kedua mengacu pada
keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam suatu masyarakat, beserta dengan
norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
Kajian
yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai system interaksi verbal di antara
para penuturnya di dalam masyarakat disebut sosiolonguistik interaksional atau
sosiolinguistik mikro.Sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam
hubungannya dengan ciri-ciri linguistic di dalam masyarakat disebut sosiolinguistik
korelasional atau sosiolinguistik makro (Appel 1976: 22).Kedua jenis
sosiolinguistik ini, mikro dan makro mempunyai hubungan erat, tidak dapat
dipisahkan, karena keduanya saling bergantung.Maksudnya, verbal repertoire
setiap penutur ditentukan oleh masyarakat di mana dia berada, sedangkan verbal
repertoire suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan verbal repertoire semua
penutur di dalam masyarakat itu.
1.3
Masyarakat Tutur
Bahasa dan sosiolinguistik dapat disimpulkan bahwa masyarakat
tutur ialah sekelompk orang atau individu yang memiliki kesamaan atau
menggunakan sistem kebahasaan yang sama berdasarkan norma-norma kebahasaan yang
sesuai.
Dalam masyarakat yang sesungguhnya, anggota-anggotanya
memungkinkan memiliki ciri fisik yang berupa organ bicara (organ of speech)
yang berbeda-beda
yang pada gilirannya nanti menghasilkan idiolek yang berbeda. Dalam masyarakat itu
anggota-anggotanya dimungkinkan pula memiliki kepribadian yang berbeda yang
nantinya menimbulkan wujud dan cara bahasa yang berlainan. Sementara itu, asal
kedaerahan yang berbeda akan melahirkan bermacam-macam variasi regional yang
lazim disebut dialek. Dan akhirnya, status sosial ekonomi anggota masyarakat
yang berbeda-beda akan mewujudkan sosiolek yang berbeda.
Faktor-faktor
sosial dan individual yang lain, seperti umur, jenis kelamin, tingkat
keakraban, latar belakang keagamaan, dan sebagainya tentu menambah komplek
wujud bahasa yang terdapat dalam sebuah masyarakat tutur, sehingga tidak
mustahil bahwa dalam sebuah masyarakat tutur terdapat sejumlah masyarakat tutur
lain dalam skope yang lebih kecil.
Ciri
khas bahasa seseorang disebut idiolek, sedangkan kumpulan idiolek dalam sebuah
bahasa disebut dialek.Variasi yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda
tingkat sosialnya termasuk variasi dialek social atau sosiolek.
Masyarakat
tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama,
melainkan kelompok orang yang mempunyai
norma yang sama dalam menggunakan
bentuk-bentuk bahasa. Untuk dapat disebut sebagai satu masyarakat tutur adalah
adanya perasaan di antara para penuturnya bahwa mereka merasa menggunakan
tuturan yang sama (Djokokentjono 1982). Dengan konsep adanya perasaan
menggunakan tutur yang sama, maka dua buah dialek yang secara linguistik
merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua buah bahasa dari dua masyarakat
tutur yang berbeda.
Fishman (1976:28) menyebutkan bahwa
masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya
setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai
dengan penggunaannya.
Kata
masyarakat dalam masyarakat tutur bersifat relative, dapat menyangkut
masyarakat yang sangat luas dan dapat pula menyangkut sekelompok kecil
orang. Kata masyarakat itu kiranya
digunakan sama dalam penggunaan “masyarakat desa”, “masyarakat kota”, “
masyarakat Jawa Barat”, “ masyarakat Inggris”, “ masyarakat Eropa”, dan yang
hanya menyangkut sejumlah kecil orang seperti “ masyarakat pendidikan”, atau “
masyarakat linguistic umum”.
Dengan pengertian terhadap kata
masyarakat seperti itu, maka setiap kelompok orang yang karena tempat atau
daerahnya, profesinya, hobinya, dan sebagainya, menggunakan bentuk bahasa yang
sama, serta mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakain bahasa
itu, mungkin ranah-ranah sosial seperti rumah tangga, pemerintahan, keagamaan,
dan sebagainya. Sebaliknya, masyarakat tutur itu mungkin meliputi pemakaian
bahasa dalam satu Negara atau beberapa Negara, apabila masyarakat di dalam
Negara atau Negara-negara itu mempunyai perasaan bahwa mereka menggunaan bahasa
yang sama.
Bahasa mengenai masyarakat tutur
sebenarnya sangatlah beragam, yang barangkali antara satu dengan yang lainnya
agak sukar untuk dipertemukan. Bloomfield (1933:29) membatasi dengan
“sekelompok orang yang menggunakan system isyarat yang sama”. Batasan
Bloomfield ini dianggap terlalu sempit oleh para ahli sosiologi, sebab terutama
dalam masyarakat modern banyak orang yang menguasai lebih dari satu ragam
bahasa, dan di dalam masyarakat itu sendiri lebih dari satu bahasa. Sebaliknya
batasan yang diberikan oleh Labov (1972:158) yang mengatakan “satu kelompok
orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa”, dianggap terlalu luas
dan terbuka.
Masyarakat tutur yang besar dan
beragam memperoleh verbal repertoirnya dari pengalaman atau dari adanya
interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu.Mungkin juga diperoleh
secara refensial yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti
integrasi dalam sebuah wadah yang disebut Negara, bangsa, dan daerah. Jadi
mungkin saja dalam wadah Negara, bangsa, dan daerah membentuk suatu masyarakat
tutur dalam pengetian simbolik itu.
Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah jelas
mewakili masyarakat tutut tertentu dalam hubungannya dengan variasi kebahasaan.
Dalam hal ini baiknya dikemukakan
contoh pengertian masyarakat tutur dari Fishman (1975:30). Setiap hari ribuan
tenaga kerja yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai bahasa daerah yang
berlainan bekerja di pabrik-pabrik Jakarta dan di pabrik-pabrik sekitar Jakarta
mereka sesame rekan sekerjanya menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi.
Jadi meskipun mereka berbahas ibu yang berbeda, mereka adalah pendukung
masyarakt tutur bahasa Indonesia. Dalam hal ini memang tidak terlepas dari fungsi
ganda bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, bahasa Negara, dan bahasa
Persatuan.
Kalau
kita melihat kasus masyarakat tutur bahasa Indonesia di atas maka bisa diakatan
bahwa bisa terjadi suatu masyarakat tutur itu bukanlah sutau masyarakat yang
berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan suatu masyarakat yang timbul
karena rapatnya komunikasi atau karena integrasi simbolis dengan tetap mengakui
kemapuna komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variasi
bahasa yang digunakan. Dengan demikina dapat dikatakan juga bahwa kompleksnya
suatu masyarakat tutur ditentukan oleh banyaknya dan luasnya variasi bahasa di
dalam jaringan yang didasari oleh pengalaman dan sikap para penutur dimana
variasi itu berada.Lalu verbal repertoire suatu masyarakat tutur merupakan
refleksi dari repertoire seluruh penuturnya dari anggota masyarakat itu
(Fishman 1975:32).Refleksi ini menyangkut luas jangkauan kedalaman, pemahanan,
dan keluwesan repertoire itu.
Dilihat
dari senoit verbal repertoirnya dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat
tutur yaitu, (1) masyarakat tutur repertoire pemakainya lebih luas, dan
menunjukan verbal repertoire setiap penutur lebih luas pula, (2) masyarakat
tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi
hidup yang sama, dan menunjukan pemilikan wilayah linguistic yang sempit,
termasuk juga perbedaan variasi. Hanya seperti dikatakan Fishman (1973:33) dan
juga Gumperz (1964:37-53) masyarakat modern mempunyai kecenderungan menggunakan
bahasa variasi dalam bahasa yang sama sedangkan masyarakat tradisional bersifat
lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang
berlainan. Penyebab kecenderungan itu adalah berbagai faktor sosial dan faktor
kultural.
1.4
Bahasa dan Tingkatatan Sosial Masyarakat
Adanya tingkatan sosial didalam
masyarakat dapat dilihat dari dua segi yaitu pertama dari segi kebangsawanan
kalau ada dan yang kedua adalah dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan
tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki.Biasanya yang
memiliki pendidikan lebi baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf
perekonomian yang lebih baik pula.Tetapi ini tidak mutlak.Bisa saja taraf
pendidikannya lebih baik namum taraf perekonomiannya kurang baik.Sebaliknya
yang memiliki taraf pendidikan kurang tetapi memiliki taraf perekonomian yang
baik.
Untuk melihat adakah hubungan antara
kebangsawanan dan bahasa, kita ambil contoh masyarakat tutur bahasa Jawa.
Mengenai tingkat kebangsawanan ini, Kuntjaraningrat (1976:245) membagi masyarakat
Jawa atas empat tingakt (1) wong cilik, (2) wong sudagar, (3) priyayi, dan (4)
ndara. Sedangkan Clifford Geertz (dalam Pride dan Holmes (ed.) 1976) membagi
masyarakat Jawa menjadi tiga tingkat yaitu, (1) priyayi, (2) bukan priyayi
tetapi berpendidikan dan bertimpat tinggal dikota, (3) petani dan orang yang
tidak berpendidikan.Dari kedua penggolongan itu jelas adanya perbedaan
tingkatan dalam masyarakat tutur bahasa Jawa.Berdasarkan tingkat-tingkat itu,
maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan
sesuai dengan tingkat sosialnya. Jadi
bahasa atau ragam bahasa yang digunakan diakalangan wong cilik tidak sama
dengan wong sudagar, da lain pula dari bahasa yang digunakan para priyayi. Variasi
bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk
variasi dialek sosial, lazim juga disebut sosiolek (Nababan 1984).Perbedaan
variasi bahasa dapat terjadi juga apabila yang terlibat dalam tuturan itu
mempunyai tingkat sosial yang berbeda.Variasi bahasa yang penggunaannya
didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan
istilah Unduk Usuk.Adanya tingkat-tingkat bahasa yang disebut Unduk Usuk ini
menyebabkan penutur dari masyarakat tutur bahasa Jawa tersebut untuk mengetahui
lebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya terhadap lawan bicara.Adakalanya mudah
tetapi sering kali tidak mudah.Lebih-lebih lagi kalau terjadi si penutur lebih
tinggi kedudukan sosialnya tetapi usianya lebih muda.Atau sebaliknya, kedudukan
sosialnya lebih rendah, tetapi usianya lebih tua dari lawan bicaranya.Kesulitan
ini ditambah pula dengan semacam kode etik, bahwa seorang penutur tidak boleh
menyebut dirinya dengen tingkat bahasa yang lebih tinggi.Dengan demikian, dapat
dilihat betapa rumitnya pemilihan variasi bahasa untuk berbicara alam bahasa
Jawa.
Sehubungan dengan Unduk Usuk ini
bahasa Jawa terbagi menjadi dua, krama untuk tingkat tinggi dan ngoko untuk
tingkat rendah.Namun di antara keduanya masih terdapat adanya
tingkatan-tingkatan antara.Uhlenbeck (1970) seorang pakar bahasa Jawa membagi
tingkatan variasi bahasa Jawa menjadi tiga yaitu krama, madya, dan ngoko. Lalu
masing-masing diperini lagi menjadi muda krama, kramantara, dan werda krama
madyangoko., madyantara dan madya krama, ngoko sopan dan ngoko andhap. Sedangkan
Clifford Geertz (1976:168) membagi menjadi dua bagian pokok yaitu krama dan
ngoko. Lalu krama diperinci lagi menjadi krama inggil, krama biasa, dan krama
madya sedangkan ngoko diperinci lagi menjadi ngoko madya , ngoko biasa, dan
ngoko sae.
1.5
Hubungan Bahasa dan Masyarakat
Bahasa
dan masyarakat, bahasa dan kemasyarakatan, dua hal yang bertemu di satu titik,
artinya antara bahasa dan masyarakat tidak akan pernah terpisahkan. Bahasa
sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, digunakan oleh anggota masayarakat
sebagai alat komunikasi, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.Bahasa
begitu melekat erat, menyatu jiwa di setiap penutur di dalam masyarakat.Ia
laksana sebuah senjata ampuh untuk mempengaruhi keadaan masyarakat dan
kemasyarakatan. Fungsi bahasa sebagai alat untuk berinteraksi atau
berkomunikasi dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau
juga perasaan di dalam masyarakat inilah di namakan fungsi bahasa secara
tradisional.Maka dapat di katakan hubungan antara bahasa dan penggunanya di
dalam masyarakat ini merupakan kajian sosiolinguistik.
Berbicara tentang bahasa dan masyarakat, maka tidak terlepas
dari istilah “masyarakat bahasa”. Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang
yang memiliki bahasa bersama atau merasa termasuk dalam kelompok itu, atau
berpegang pada bahasa standar yang sama. Masyarakat tutur adalah istilah
netral.Ia dapat dipergunakan untuk menyebut masyarakat kecil atau sekelompok
orang yang menggunakan bentuk bahasa yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang
sama dalam bahasanya. Jadi masyarakat bahasa atau masyarakat tutur.
Berbicara tentang bahasa dan masyarakat tentu tidak terlepas
dengan kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat, maka titik tolaknya adalah
hubungan bahasa dengan kebudayaan dari masyarakat yang memiliki variasi
tingkat- tingkat sosial. Ada yang menganggap bahasa itu adalah bagian dari
masyarakat, namun ada yang menganggap bahasa dan kebudayaan itu dua hal yang
berbeda, tetapi hubungan antara keduanya erat, sehingga tidak dapat dipisahkan,
yang menganggap bahasa banyak dipengaruhi oleh kebudayaan, sehinnga apa yang
ada dalam kebudayaan akan tercermin dalam bahasa.Di sisi lain ada juga yang
mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan dan cara berpikir
manusia, atau masyarakat penuturnya.
Bagaimanakah bentuk hubungan antara bahasa dengan
masyarakat? Bentuk hubungan bahasa dengan masyarakat adalah adanya hubungan
antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi ragam atau dialek
dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu didalam masyarakat.Sebagai
contoh di dalam kegiatan pendidikan kita menggunakan ragam baku, untuk kegiatan
yang sifatnya santai ( non formal ) kita menggunakan bahasa yang tidak baku, di
dalam kegiatan berkarya seni kita menggunakan ragam sastra dan sebagainya.
Inilah yang disebut dengan menggunakan bahasa yang benar, yaitu penggunaan
bahasa pada situasi yang tepat atau sesuai konteks di mana kita menggunakan
bahasa itu untuk aktivitas komunikasi.
1.6
Fungsi Bahasa dalam Masyarakat
Hubungan masyarakat dan
bahasa sangat erat seperti api dan asap, tidak mungkin ada bahasa kalau tidak
ada masyarakat dan begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu penggunaan bahasa
tertentu tergantung dari kebudayaan masyarakat tersebut, semakin masyarakat itu
berbudaya maka semakin komplek bahasa yang digunakan. Dalam kajian bahasa arab,
masyarakat badui dijadikan sebagai referensi bahasa oleh para linguis arab.
Karena mereka berasumsi bahwa masyrarakat badui jauh dari peradaban sehingga
bahasa yang mereka gunakan masih sangat sederhana dan mudah dipahami.
Pemakaian bahasa pada
masyarakat, selalau di pengaruhi
faktor-faktor berikut seperti: faktor sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat
ekonomi, jenis kelamin dan faktor situasional seperti siapa yang berbicara,
dengan bahasa apa dia berbicara, kapan dan dimana mengenai masalah apa
(Maryono: 1998) dan faktor-faktor itu semua merupakan lahan kajian dari
sosiolinguistik.
Bahasa dalam kajian
sosiolinguitik tidak dipandang sebagai bahasa itu sendiri tetapi lebih kepada
bahasa sebagai alat komunikasi sosial, dengan kata lain bahasa secara
sosiolinguistik dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta
bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Secara garis besar fungsi bahasa dalam masyarakat adalah sebagai gejala sosial, sistem sosial,
identitas sosial dan sebagai lembaga kemasyarakatan. Dibawah ini akan
dijelaskan secra ringkas keempat faktor tersebut
1.
Bahasa sebagai gejala sosial
Dalam masyarakat, seseorang tidak dianggap individu melainkan bagian dari
masyarat tertentu dengan kata lain bahasa tida dianggap sebagai gejala individu
tetapi merupakan gejala sosial. Sehingga chomsky mengatakan dalam berbahasa ada
yang disebut dengan kompetensi dan performasi. Kopetensi adalah kemampuan yang
dimiliki pemakan bahasa mengenai
bahasanya, sedangkan performasi adalah perbuatan atau pemakaian bahasa dalam
keadaan sebenarnya dalam masyarakat.
2.
Bahasa segai lembaga kemasyarakatan
Sosiolinguistik membicarakan hubungan penggunaan bahasa dengan
masyarakat, hubungan yang dibicarakan
adalah hubungan antara bentuk bahasa tertentu yang disebut vareasi, ragam atau
dialek. Selain bahasa mempunyai hubungat erat dengan penggunanya bahasa juga
mempunyai hubungan dengan tingkatan sosial dalam masyarakat Chaer (1995:51)
3.
Bahasa sebagai identitas sosial
Identitas sosial dapat dilihat dari bahasa yang digunakannya, apakah yang
berbicara membunyai hubungan kerabat denga lawan bicaranya atau sebagai atasan
atau sebagai teman. Karena semua itu akan mempengarui vareasi bahasa yang
digunakan oleh seorang penutur bahasa. Penggunaan bahasa untuk orang tua akan
berbeda dengan penggunaan bahasa untuk orang lain, dalam kontek orang lain pung
akan sangat berdeda apakah lawan bicara itu lebih muda atau lebiah tua,
penggunaan variasi ini akan terlihat jelas dalam penggunaanbahasa jawa dan
bahasa sunda.
4.
Bahasa sebagai sistem sosial
Bahasa bukan hanya sebagai tanda,
tetapi bahasa pertama-tama dipandang sebagai sistem sosial dan sistem
komukasi dan juga merupakan kebudayaan dari masyarakat tertentu. Bahasa sebagai
sitem sosial berarti bahasa dapat dijadikan sebagai pranata sosial untuk
mengorganisasi interaksimasyarakatnya.
Bahasa merupakan bagian dari suatu kebudayaan, maksudnya ialah bahwa
persepsi masyarakat terhadap kategori-kategori
akan diwujudkan dalam bentuk bahasa.
Di dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara
tradisional dapat dikatakan sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh
masyarakat untuk berkomunikasi.Akan tetapi, fungsi bahasa tidak hanya semata-mata
sebagai alat komunikasi.Bagi Sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat yang
fungsinya menyampaikan pikiran saja dianggap terlalu sempit.Chaer (2004:15)
berpendapat bahwa fungsi yang menjadi persoalan Sosiolingustik adalah dari segi
penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan. Maksud dari pernyataan
tersebut pada intinya bahwa fungsi bahasa akan berbeda apabila ditinjau dari
sudut pandang yang berbeda sebagaimana yang telah disebutkan di atas.Adapun
penjelasan tentang fungsi-fungsi bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Segi penutur
Dilihat dari segi penutur maka bahasa itu berfungsi personal
atau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang
dituturkannya, bukan hanya menyatakan sikap lewat bahasa tetapi juga
memperlihatkan sikap itu sewaktu menyampaikan tuturannya, baik sedang marah,
sedih, ataupun gembira.
2. Segi pendengar
Dilihat dari segi pendengar maka bahasa itu berfungsi direktif,
yaitu mengatur tingkah laku pendengar.Dalam hal ini, bahasa itu tidak hanya
membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan hal sesuai dengan
keinginan si pembicara.
3. Segi topik
Dilihat dari segi topik maka bahasa itu berfungsi referensial.Dalam
hal ini bahasa itu berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau
peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada
umumnya.
4. Segi kode
Dilihat dari segi kode maka bahasa itu berfungsi metalingual
atau metalinguistik, yaitu bahasa digunakan untuk membicarakan bahasa itu
sendiri, seperti pada saat mengajarkan tentang kaidah-kaidah atau aturan-aturan
bahasa yang dijelaskan dengan menggunakan bahasa.
5. Segi amanat
Dilihat dari segi amanat yang disampaikan maka bahasa itu
berfungsi imaginatif, yakni bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan
pikiran, gagasan, dan perasaan (baik sebenarnya maupun khayalan/rekaan).
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Bahasa
begitu melekat erat, menyatu jiwa di setiap penutur di dalam masyarakat.Ia
laksana sebuah senjata ampuh untuk mempengaruhi keadaan masyarakat dan
kemasyarakatan. Fungsi bahasa sebagai alat untuk berinteraksi atau
berkomunikasi dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau
juga perasaan di dalam masyarakat inilah di namakan fungsi bahasa secara
tradisional.Maka dapat di katakan hubungan antara bahasa dan penggunanya di
dalam masyarakat ini merupakan kajian sosiolinguistik.
B.
SARAN
Setiap
individu harus menutur atau berbicara dengan menggunakan bahasa yang benar,
sopan, bijaksana dan memiliki etika dalam berbahasa, apalagi saat berada di
kalangan masyarakat. Dan hendaklah bagi penutur bahasa harus bisa menyesuaikan
bahasanya ketika berada di suatu tempat, baik di lingkungan formal maupun di
lingkungan non formal.
DAFTAR PUSTAKA
Nababan, P.W.J, 1984, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar,
Jakarta Gramedia.
Chaer,
Abdul, Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta 2007.
Chaer
Abdul, Agustina leoni, SOSIOLINGUISTIK Perkenalan Awal, Jakarta: PT Rineka
Cipta 2004.
http://ferdinan01.blogspot.com/2009/02/hubungan-masyarakat-dan-bahasa.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar