foklor

Hakekat Folklor
                Kata Folklor adalah pengindonesiaan dari kata Inggris foklore. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari  folk dan lore. Folk yang sama artinya dengan kata kolektif (colectivity). Menurut Alan Dundes. Folk adalah sekelompok orang yang memeliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan lore adalah tradisi folk yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secar turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang diserta dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
            Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang terbesar dan diwariskan turun temurun diantara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
            Dari pengertian folk yang berbunyi: “sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik maupun kebudayaan. Sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya, maka objek penelitian folklor Indonesia menjadi luas sekali. Misalnya dari perbedaan ciri-ciri pengenal fisik, kita tidak dapat membatasi diri hanya mempelajari folklor orang Indonesia yang berwarna kulit cokelat, melainkan harus juga yang berwarna kulit hitam, putih, maupun kuning, asalkan mereka adalah warga negara Indonesia, atau paling tidak sudah beberapa generasi menjadi penduduk Indonesia.
            Jadi yang men adi obyek penelitian folklor Indonesia adlah semua folkloor dari folk yang ada di Indonesia baik yang di pusat maupun yang di daerah baik yang di kota maupun yang di desa, di keraton maupun di kampung, baik pribumi maupun keturunan asing (peranakan): baik warga negaramaupun asing, asalkan mereka sadar akan identitas kelompoknya, dan mengembangkan budaya mereka di bumi Indonesia. Bahkan penelitian folklor Indonesia dapat diperluas lagi dengan meneliti orang Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri, seperti  orang Indo Belanda di negeri Belanda atau di California, dan orang Jawa di Suriname.
            Ciri-ciri pengenal folklor pada umumnya dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.)    Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut kemulut.
b.)    Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
c.)    Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan.
d.)   Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
e.)    Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kecantikan seorang gaadis dan “seperti ularberbelit-belit” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku.
f.)     Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidpan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat missalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g.)    Folklor yang bersifat pralogis yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
h.)    Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptaanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
i.)      Folklor pada umumnya berssiafat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingatbahwa banyak folklor meupakan proyeksi emosi manusia yang jujur manifeastasinya.
A.    Sejarah Perkembangan Folklor
Folklor hanya merupakan sebagian kebudayaan yang penyebarannya pada umumnya melalui tutur kata lisan, itulah sebabnya ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan. Orang yang pertama kali memperkenalkan istilah folklor ke dalam dunia ilmu pengetahuan adalah William John Thoms, seorang ahli kebudayaan antik (antiquarian) dari Inggris. Istilah itu diperkenalkan pertama kali pada waktu ia menerbitkan sebuah artikelnya dalam bentuk surat terbuka dalam majalah The Athenacum No 982, tanggal 22 Agustus 1846, dengan mempergunakan nama samaran Ambrose Merton (1846:862-863). Dalam surat terbuka itu Thoms mengakui bahwa dialah yang telah menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhyul, balada, dan sebagainya dari masa lampau yang sebelumnya disebut dengan istilah antiquities, popular antiquities, atau popular literature.
Minat terhadap antiquiteis timbul di Inggris pada masa kebangkitan romantisme dan nasionalisme abad ke-19, yang pada masa itu kebudayaan rakyat jelat, yang dianggap hampir punah sangat disanjung-sanjung (Dundes, 1965:4). Tahun 1865 E.B. Tylor memperkenalkan istilah culture ke dalam bahasa Inggris. Istilah itu untuk pertama kalinya ia ajukan didalam karangannya yang berjudul Primitive Culture (1871), dengan arti : kesatuan yang menyeluruh yang terdiri dar pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan semua kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Tylor, 1871, jilid 1:1)
Biarpun istilah culture diperkenalkan lebih lambat 19 tahun dari istilah folklore, namun istilah itu telah berhasil mengeser istilah folklore untuk diidentifiksiksn dengan kebudayaan pada umumnya, sedangkan istilah folklore hanya dipergunakan dalam arti kebudayaan yang lebih khusus, yaitu bagian yang diwariskan melalui lisan saja.
Para ahli folklor didunia ada 3 macam, yakni para ahli folklor humanistic (humanistic folkorist), yang berlatar belakang ilmu bahasa dan kesusasteraan, para ahli folkor antropologis (anpological folklorist), yang berlatar belakang ilmu antropologi, dan ahli folklor modern, yang berlatar belakang ilmu-ilmu interdisipliner.
Para ahli folklor humanistis yang terdiri dari para ahli bahasa dan kesusasteraan, yang kemudian memperdalam ilmu folklor pada umumnya tetap memegang erat definisi Wiliam John Thoms, sehingga mereka memasukan kedalam folklor bukan saja kesusastraan lisan, seperti cerita rakyat dan lain-lain, sebagai obyek penelitian, melainkan juga pola kelakuan manusia seperti tari dan bahasa isyarat, dan hasil kelakuan yang berupa benda material, seperti arsitektur rakyat, mainan rakyat, dan pakaian rakyat. Selain itu mereka, pada umumnya juga lebih mementingkan aspek lor daripada folk dari folklor dalam  penelitian mereka.
Para ahli antropologis, yang terdiri dari sarajana antropologi yang mengususkan diri dalam folklor, pada umumnya membatasi obyek penelitian mereka pada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat lisan saja (verbal arts) seperti cerita prosa rakyat, teka-teki, peribahasa syair rakyat, dan kesusasteraan lainnya.
Bagi folklor modern, yang mempunyai latar belakang pendidikan interdisipliner, mempunyai pandangan yang terletak di tengah-tengahdiantara kedua kutub perbedaan itu. Dalam hal obyek penelitian, mereka sama dengan ahli folkor humanistis, karena bersedia mempelajari semua unsur kebudayaan manusia, asalkan diwariskan melalui lisan atau dengan cara peniruan. Dan karena berpendidikan ilmu yang interdisipliner, maka mereka menitikberatkan kedua aspek folklor yang mereka teliti, yakni baik folk maupun lorenya.

0 Responses

Posting Komentar