Istilah Sesajen Kesenian Kuda
Lumping Grup Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
Permasalahan
yang Dikaji:
- Istilah-istilah sesajen yang ada dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
- Latar belakang budaya yang mempengaruhi penggunaan istilah-istilah sesajen dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
- Pembentukan istilah-istilah sesajen dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
Penelitian
ini bertujuan untuk:
- Mendeskripsikan Istilah-istilah sesajen yang ada dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
- Mendeskripsikan latar belakang budaya yang mempengaruhi penggunaan Istilah-istilah sesajen yang ada dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
- Mendeskripsikan pembentukan istilah-istilah sesajen dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
Latar Belakang Masalah
Sesajen
merupakan warisan budaya Hindu dan Budha yang biasa dilakukan untuk memuja para
dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan) dan
lain-lain yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak
kesialan. Seperti : Upacara menjelang panen yang mereka persembahkan kepada
Dewi Sri (dewi padi dan kesuburan) yang mungkin masih dipraktekkan di sebagian
daerah Jawa, upacara Nglarung (membuang kesialan) ke laut yang masih banyak
dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir pantai selatan pulau Jawa
tepatnya di tepian Samudra Indonesia, pada kesenian-kesenian tradisional
seperti reog, kuda renggong, kuda lumping dan sebaginya.
Sesajen
ini memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat yang masih
mempercayainya, tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari berkah dan
kelancaran dalam melakukan suatu aktifitas. Pemberian sesajen ini biasanya
dilakukan ditempat-tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai magis yang
tinggi. Prosesi ini terjadi sudah sangat lama, bisa dikatakan sudah berasal
dari nenek moyang kita yang mempercayai adanya pemikiran – pemikiran yang
religius. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai sesuatu
keinginan atau terkabulnya sesuatu yang bersifat duniawi. Saat ini orang beranggapan
bahwa menyajikan sesajen adalah suatu kemusyrikan. Tapi sebenarnya ada suatu
simbol atau siloka di dalam sesajen yang harus kita pelajari. Siloka, adalah
penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda.
Kearifan
lokal yang disimbolkan dalam sesajen perlu dipelajari bukan disalahkan karena
itu adalah kearifan budaya lokal yang diturunkan oleh leluhur kita. Banyak
orang yang mengartikan sesajen mengandung arti pemberian sesajian-sesajian
sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur terhadap semua yang terjadi
dimasyarakat sesuai bisikan ghaib yang berasal dari paranormal atau
tetuah-tetuah sehingga warisan budaya Hindu dan Budha ini dianggap sebagai
suatu kemusyrikan. Sebelum menilai demikian, ada baiknya untuk mengetahui
terlebih dahulu arti simbol-simbol atau siloka kearifan lokal ini. Sesajen ini
memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat yang masih
mempercayainya, tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari berkah.
Pemberian sesajen ini biasanya dilakukan ditempat-tempat yang dianggap keramat.
Kesenian
di kabupaten Banyumas khususnya di Desa Cipacing pada saat ini mengalami
perkembangan pesat. Diantara banyaknya kesenian yang ada di kabupaten Banyumas
ada salah satu kesenian tradisional yang menarik perhatian penulis, sehingga
penulis mengangkat judul yang berkaitan dengan kajian ilmu komunikasi yaitu
ebeg yang biasa disebut kuda lumping. Ebeg atau kuda lumping adalah satu
pertunjukan yang banyak mengandung unsur –unsur magis. pertunjukan ebeg
merupakan kombinasi atau gabungan dari alat musikbalungan ,goong, kendang,
sedangkan lagu yang mengiringinya adalah lagu-lagu Banyumasan. property yang
digunakan adalah beberapa kuda yang terbuat dari gedeg (bambu yang dikepang).
Selain
mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda lumping ini
seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai,
biasanya seorang pawang kuda lumping akan melakukan ritual, untuk berdoa
memohon kelancaran dalam melaksanakan hiburan kuda lumping. Ritual tersebut
dimaksudkan untuk memanggil indang-indang.
Metode yang digunakan :
Metode pengumpulan data penelitian
ini menggunakan metode cakap beserta teknik-tekniknya. Metode cakap beserta
teknik-tekniknya akan digunakan untuk memperoleh data dari lapangan. Metode
cakap iui ditempuh dengan mengadakan percakapan antara peneliti dengan
informan. Dengan adanya kontak antara peneliti dengan informan itu memungkinkan
kajian etnolinguistik berjalan. Yang dimaksud dengan informan di sini ialah
pembicaraan asli yang berkemampuan memberi informasi kebahasaan kepada
peneliti, khususnya mengenai segi-segi tertentu suatu bahasa. Segi-segi
tertentu dalam penelitian ini berupa istilah-istilah sesajen yang ada pada grup
kesenian kuda kepang Wahyu Budaya.
Teknik lanjutannya dengan teknik
cakap semuka, teknik cakap semuka, teknik cakap, teknik pemotretan, dan teknik
catat. Di samping itu, untuk mendapatkan data yang memadai perlu dilakukan
dengan teknik wawancara mendalam (indept interviewing).
Temuan
Data Sementara
Bakaran
Putih : kemenyan yang dibakaryang digunakan untuk mengundang
indang
Bandeg :
tempat
sejenis gendeng yang digunakan sebagai tempat pembakaran menyan.
Blandhong : benda yang terbuat dari
tanah liat yang berjumlah sepasang, berisi sejimpit beras
Kendhi : benda
dari tanah liat sebagai tempat air yang jumlahnya sepasang
Teplok : lampu
minyak yang digunakan saat memanggil indang
Lampu robyong : lampu yang bercabang dengan hiasan yang
jumlahnya sepasang yang digunaan untuk mengembalikan indang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar