etnolinguistik istilah-istilah sesajen

Istilah Sesajen Kesenian Kuda Lumping Grup Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
Permasalahan yang Dikaji:

  1. Istilah-istilah sesajen yang ada dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
  2. Latar belakang budaya yang mempengaruhi penggunaan istilah-istilah sesajen dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
  3. Pembentukan istilah-istilah sesajen dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
Penelitian ini bertujuan untuk:
  1. Mendeskripsikan Istilah-istilah sesajen yang ada dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
  2. Mendeskripsikan latar belakang budaya yang mempengaruhi penggunaan Istilah-istilah sesajen yang ada dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas
  3. Mendeskripsikan pembentukan istilah-istilah sesajen dalam Grup Kesenian Kuda Lumping Wahyu Budaya Kabupaten Banyumas















Latar Belakang Masalah
Sesajen merupakan warisan budaya Hindu dan Budha yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan) dan lain-lain yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan. Seperti : Upacara menjelang panen yang mereka persembahkan kepada Dewi Sri (dewi padi dan kesuburan) yang mungkin masih dipraktekkan di sebagian daerah Jawa, upacara Nglarung (membuang kesialan) ke laut yang masih banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir pantai selatan pulau Jawa tepatnya di tepian Samudra Indonesia, pada kesenian-kesenian tradisional seperti reog, kuda renggong, kuda lumping dan sebaginya.
Sesajen ini memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat yang masih mempercayainya, tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari berkah dan kelancaran dalam melakukan suatu aktifitas. Pemberian sesajen ini biasanya dilakukan ditempat-tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai magis yang tinggi. Prosesi ini terjadi sudah sangat lama, bisa dikatakan sudah berasal dari nenek moyang kita yang mempercayai adanya pemikiran – pemikiran yang religius. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai sesuatu keinginan atau terkabulnya sesuatu yang bersifat duniawi. Saat ini orang beranggapan bahwa menyajikan sesajen adalah suatu kemusyrikan. Tapi sebenarnya ada suatu simbol atau siloka di dalam sesajen yang harus kita pelajari. Siloka, adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda.
Kearifan lokal yang disimbolkan dalam sesajen perlu dipelajari bukan disalahkan karena itu adalah kearifan budaya lokal yang diturunkan oleh leluhur kita. Banyak orang yang mengartikan sesajen mengandung arti pemberian sesajian-sesajian sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur terhadap semua yang terjadi dimasyarakat sesuai bisikan ghaib yang berasal dari paranormal atau tetuah-tetuah sehingga warisan budaya Hindu dan Budha ini dianggap sebagai suatu kemusyrikan. Sebelum menilai demikian, ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu arti simbol-simbol atau siloka kearifan lokal ini. Sesajen ini memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat yang masih mempercayainya, tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini biasanya dilakukan ditempat-tempat yang dianggap keramat.
Kesenian di kabupaten Banyumas khususnya di Desa Cipacing pada saat ini mengalami perkembangan pesat. Diantara banyaknya kesenian yang ada di kabupaten Banyumas ada salah satu kesenian tradisional yang menarik perhatian penulis, sehingga penulis mengangkat judul yang berkaitan dengan kajian ilmu komunikasi yaitu ebeg yang biasa disebut kuda lumping. Ebeg atau kuda lumping adalah satu pertunjukan yang banyak mengandung unsur –unsur magis. pertunjukan ebeg merupakan kombinasi atau gabungan dari alat musikbalungan ,goong, kendang, sedangkan lagu yang mengiringinya adalah lagu-lagu Banyumasan. property yang digunakan adalah beberapa kuda yang terbuat dari gedeg (bambu yang dikepang).
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang kuda lumping akan melakukan ritual, untuk berdoa memohon kelancaran dalam melaksanakan hiburan kuda lumping. Ritual tersebut dimaksudkan untuk memanggil indang-indang.
Metode yang digunakan :
Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode cakap beserta teknik-tekniknya. Metode cakap beserta teknik-tekniknya akan digunakan untuk memperoleh data dari lapangan. Metode cakap iui ditempuh dengan mengadakan percakapan antara peneliti dengan informan. Dengan adanya kontak antara peneliti dengan informan itu memungkinkan kajian etnolinguistik berjalan. Yang dimaksud dengan informan di sini ialah pembicaraan asli yang berkemampuan memberi informasi kebahasaan kepada peneliti, khususnya mengenai segi-segi tertentu suatu bahasa. Segi-segi tertentu dalam penelitian ini berupa istilah-istilah sesajen yang ada pada grup kesenian kuda kepang  Wahyu Budaya.
Teknik lanjutannya dengan teknik cakap semuka, teknik cakap semuka, teknik cakap, teknik pemotretan, dan teknik catat. Di samping itu, untuk mendapatkan data yang memadai perlu dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indept interviewing).








Temuan Data Sementara
Bakaran Putih           : kemenyan  yang dibakaryang digunakan untuk mengundang indang
Bandeg                       : tempat sejenis gendeng yang digunakan sebagai tempat pembakaran menyan.
Blandhong                 : benda yang terbuat dari tanah liat yang berjumlah sepasang, berisi sejimpit beras
Kendhi                       : benda dari tanah liat sebagai tempat air yang jumlahnya sepasang
Teplok                        : lampu minyak yang digunakan saat memanggil indang
Lampu robyong        : lampu yang bercabang dengan hiasan yang jumlahnya sepasang yang digunaan untuk mengembalikan indang
0 Responses

Posting Komentar