Kosmologi dan Kosmogoni Novel Tunggak-Tunggak Jati Anggitan Esmite

Kosmologi dan Kosmogoni Novel Tunggak-Tunggak Jati
Anggitan Esmite
1.1            Hubungan Antara Indonesia dan Tionghoa
          Hubungan baik antara etnis Jawa dan Tionghoa mulai merosot pada sekitar awal abad ke-19 karena keterlibatan etnis Tionghoa dalam konflik internal kraton Keadaan ini diperparah dengan penerapan politik devide et impera yang diduga merupakan akar dari deskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia.
            Novel Tunggak-Tunggak Jati (TTJ) merupakan novel Jawa yag dalam struktur naratifnya berusaha membaurkan etnis Jawa-Tionghoa melalui proses asimilasi. Proses tersebut tergambar dalam jalan cerita serta penokohan yang digolongkan dalam dua generasi. Generasi pertama etnis Tionghoa dan etnis Jawa dalam novel ini masih mengusung stereotip etnis. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan kondisi riil di masyarakat tentang pandangan etnis Jawa kepada etnis Tionghoa dan sebaliknya.
            Generasi pertama ini dalam alur cerita berikutnya akan mendapatkan kesadaran-kesadaran bahwa stereotip yang selama ini sudah kekal dalam diri mereka sebagai bentuk mind set dapat berubah karena adanya penyadaran-penyadaran dari generasi kedua. Jika tidak mendapatkan penyadaran, maka orang-orang dari generasi pertama ini akan dihilangkan dalam cerita atau tampil sebagai orang-orang yang kalah.
            Generasi kedua dalam novel ini diisi oleh tokoh-tokoh yang merupakan anak dari generasi pertama. Tokoh-tokoh dari generasi kedua mempunyai cara pandang yang berbeda kepada masing-masing etnis. Stigma yang selama ini melekat pada pola pikir generasi pertama dikikis oleh para tokoh generasi kedua. Generasi ini lebih menghargai etnis yang lain, dan cenderung menganggap tidak ada satu etnis yang lebih tinggi kedudukan dan derajatnya daripada etnis yang lain.
            Novel Tunggak-Tunggak Jati merupakan novel yang memuat keinginan dan angan-angan kolektif etnis Jawa untuk menempatkan dirinya sejajar, bahkan lebih tinggi daripada etnis Tionghoa yang dalam ordonansi warisan kolonial berada satu tingkat lebih tinggi. TTJ juga mengisyaratkan pentingnya asimilasi dan pembauran antaretnis Jawa dan Tionghoa. Novel ini juga mengusung amanat bahwa pada generasi kedua (generasi penerus), sentimen antaretnis Jawa-Tionghoa tidak perlu terjadi lagi, kesejajaran antaretnis Jawa dan Tionghoa dapat selalu terpelihara sehingga tidak timbul deskriminasi-deskriminasi etnis yang merugikan berbagai pihak.

















2.1     Latar Belakang Pengarang
            Karya sastra adalah fenomena unik. Di dalamnya penuh serangkaian makna dan fungsi. Bahasa sastra  berbeda dengan bahasa ilmu pengetahuan, karena bahasa sastra bersifat imajinasi. Karya sastra  diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat, salah satunya berbentuk novel, di dalam novel cerita yang di sajikan dari awal sampai akhir cerita. 
            Unsur-unsur pembangun fiksi di dalam novel, itu meliputi, tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan satu sama lain, sehingga novel menjadi berwujud. Esmiet melalui novel tunggak-tunggak jati menceritakan seorang gadis, anak sodagar kaya, yang dicintai oleh pemuda (anak dari pesuruh orang tua si gadis), tetapi setelah pemuda itu menjadi seorang insinyur, gadis tersebut sudah tidak cinta lagi, karena hanya akal-akalan Bapak si Gadis, karena takut kehilangan harta benda.
            Karya sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dalam kehidupan nyata. Berdasarkan uraian di atas penulis memeilih “Struktur novel tunggak-tunggak jati” karya Esmiet dengan alasan sebagai berikut:
1.      Memberikan pemahaman kepada pembaca akan pentingnya unsur-unsur struktur karya sastra, yang membentuk novel “tunggak-tnggak jati”.
2.      Novel “tunggak-tunggak jati” merupakan novel Jawa modern, menggunakan bahasa Jawa ngoko campuran, agar pembaca tidak akan kesulitan untuk memahami novel tersebut. Hal tersebut terbukti didalam kutipan sebagai berikut:
            Wis kang, gak usah nggatekake genemane. Mengko mundhak diarep-arep Pak Kasmono. Mangkono celathune banjur nyekeltangane kancane mau. Kanca-kanca liyane kuwatir marang tembunge kancane sing rada kasar iku. Abeh wis padha ngerti yen kenya. Iku anakae Babah Bian Biau, lan duwe sesambungan becik karo Pak Mujahit. (halaman 26)
            Lauri megap-megap nyedhaki Siau Yung, dheweke perlu njaluk tulung marang kenya ii. Luwih-luwih yen ngelingi dheweke durung oleh beslit, kang ateges pangkate durung dikukuhake. Dadi isih buruh padinan. (halaman 30)
“Gak isa, Ri. Nek Pak Rukun sida nggawa kayu iki menyang Kalidawir, tegese tugase Papah nyang aku ora bisa kelalen. Mesthine Pak Rukun sing bisa mbelani.















2.2     Ideologi Pengarang
            Pandangan dunia yang terekspresikan Tunggak-Tunggak Jati dan genesis novel dan pengarang. Novel Tunggak-Tunggak Jati karya Esmiet sebagai objek material penelitian ini mengisahkan keadaan masyarakat Jawa dan Cina di Kalidawir Jawa Timur.
            Untuk meneliti masalah tersebut, peneliti menggunakan teori strukturalisme genetik Lucien Goldmann, yang bertujuan untuk menemukan pandangan dunia masyarakat dan hubungannya dengan struktur karya sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dialektik yaitu memandang teks sebagai titik awal dan titik akhir dari sebuah penelitian dan memperhatikan koherensi makna secara penuh.
            Menemukan pandangan dunia dan genesisnya tersebut, dibutuhkan analisis terhadap struktur intrinsik novel Tunggak-Tunggak Jati dan relasi antar tokoh dengan objek dan lingkungannya, pandangan dunia yang diekspresikan Tunggak-Tunggak Jati dan hubungan antara struktur karya sastra denagn pandangan dunia tersebut yang kemudian akan menjawab alasan pandangan dunia tersebut terbangun dan berkembang dalam masyarakat.
            Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur novel Tunggak-Tunggak Jati dianalisis dengan mencari hubungan manusia dan manusia, manusia dan Tuhan,manusia dan alam serta lahir bathin. Dari struktur hubungan tersebut ditemukan adanya usaha pribumi untuk melintasi kelas sosial dan berusaha untuk mencapai kesejahteraan rakyat pribumi yang dipandang rendah oleh non pribumi.
            Pandangan dunia tentang marhaenisme ini disebabkan adanya perbedaan antara kelas sosial dalam strata tinggi dan yang dipandang rendah. Marhaenisme menjadi penting bagi Esmiet karena dengan ideologi tersebut akan mengangkat penduduk pribumi menjadi lebih baik dan sejajar derajat dan martabatnya di dalam non pribumi dengan perjuangan kelas lepas dari penindasan non pribumi.
            Esmiet menggambarkan kehidupan pribumi yang diwakilkan oleh tokoh Karmodo yang berusaha untuk melintasi kelas sosial dan menciptakan kesejahteraan rakyat sehingga menjadi sejajar dan lebih baik kedudukannya.
            Kata-kata kunci : Pandangan Dunia, Tunggak-Tunggak Jati, Esmiet, Strukturalisme Genetik, Lucien Goldmann





















2.1            Hubungan Pengarang dan Karyanya
Esmite ingin menceritakan dan menonjolkan setting yang ada didalam novel Tunggak-Tunggak Jati. Setting dapat juga disebut dengan latar, latar yang ada dalam Novel Tunggak-Tunggak Jati ini adalah sebagai berikut:
1.      Latar Tempat
Latar tempat pada novel Tunggak-Tunggak Jati – secara implisit – terdapat pada provinsi Jawa Timur, tepatnya pada kota - secara implisit - Tulungagung. Penganalisis dapat menyimpulkan bahwa provinsi yang menjadi latar tempat novel Tunggak-Tunggak Jati dikarenakan tokoh yang ada pada novel menggunakan dialek Jawa Timuran, dibuktikan dengan adanya kutipan berikut:
            “Kangmasmu saiki dadi wong pangkat sa-Jawa Timur. Apa iya kowe trima arep dadi gundhike Cina. Pikiren ta. Aja mbregudhul kaya karepmu dhewe. Nek kangmasmu nganti krungu, saiba dukane.”
            Kutipan yang lain, “Byangane ki. Lanang dhewe tah kowe, mandhor dhongkol?”
            “Cangkemmu aja angger mangap, Tam. Dupeh kowe dadi waker anyaran kuwi ta njur ngablak sapenake.” Cuh! Lauri idu.
            “Gak ngelmu gak cekeremes. Pokoke ngakuwa, kowe mentas saka ngendi?”
            Dialek Jawa Timuran juga tampak pada kutipan percakapan Lien Nio, “Lauri, lan kowe Kastam! Padha eneng apa wong-wong iki?”
Sedangkan kota Tulungagung sebagai latar tempat yang lebih mendetil dikarenakan adanya dusun Kalidawir, Kaliwirang, Parijatah, dan Alas Tirtaganda. Diantara lokasi-lokasi diatas, latar tempat novel Tunggak-Tunggak Jati – memiliki unsur latar tempat – lokasi tertentu, yakni rumah Tan Bian Biau, Alas Tirtaganda, rumah Karmodo, rumah Suwaji, jalan desa, dan rumah Salmah.
            Pelukisan tempat pada novel Tunggak-Tunggak Jati menyaran pada sifat kedaerahan, atau berupa pengangkatan suasana daerah. Daerah yang dimaksud pada novel ini adalah daerah pedesaan yang sebagian wilayahnya adalah ladang milik negara yang biasanya ditanami macam-macam tanaman, terutama pohon jati. Pengangkatan suasana kedaerahan pada novel ini menyebabkan latar tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional. Ia akan mempengaruhi pengaluran dan penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita secara keseluruhan(Burhan Nurgiyanta, Teori Pengkajian Fiksi: 228).
            Apabila latar tempat diganti nama menjadi kota/desa lain di Jawa tidak akan menciptakan cerita novel Tunggak-Tunggak Jati­i, karena novel ini tercipta karena unsur tempat memang terdapat banyak pohon Jati yang pada saat itu terjadi penggelapan kayu besar-beasran(ada hubungannya dengan latar waktu). Dengan demikian, cerita novel Tunggak-Tunggak Jati terasa nyata ketika dibaca – walaupun tokohnya (mungkin) fiktif - , karena penggambaran tempat oleh pengarang dibuat secara detil.
2.      Latar Suasana
Latar suasana novel Tunggak-Tunggak Jati menyaran pada pembauran etnis Cina dan Etis Jawa. Etnis Cina digambarkan melalui tokoh-tokoh yang bernama Tan Bian Biau, Lien Nio, Siau Yung dan Ing Liem. Sedangkan etnis Jawa digambarkan dengan tokoh-tokoh Karmodo, bapak dan ibu Karsonto, Karsini, Kastam, Lauri, Jumanan, Pak Mujahit, Sauji dsb.
Pada novel Tunggak-Tunggak Jati terdapat konflik diantara kaun tua dari masing-masing etnis. Kaum tua dari etnis Cina, yaitu Tan Bian Biau yang menganggap etnis Jawa adalah kaum jongos yang tergantung dengan majikan(etnis Jawa), serta patut untuk di injak-injak. Bahkan Tan Bian Biau tidak pernah mengenalkan atau mempertemukan Lien Nio kepada keluarga dari ibunya yang berasal dari etnis Jawa. Tan Bian Biaupun murka ketika Lien Nio mempunyai hubungan dengan Karmodo, hingga akhirnya Karmodo diusir dari rumah Tan Bian Biau.
Kaum tua dari etnis Jawa adalah bapak dan ibu Karsonto yang menganggap etnis Cina adalah kaum yang kikir, serakah, dan licik. Hal ini dibuktikan ketika bapak dan ibu Karsonto hendak berhenti bekerja di rumah Tan Bian Biau, mereka harus meninggalkan Karsini sebagai balas budi mereka kepada Tan Bian Biau. Pemikiran bapak dan ibu Karsontopun menjadi anti terhadap Cina, bahkan bapak dan ibu Karsonto melarang Karsini berhubungan dengan Ing Liem.
Pandangan kaum tua dapat diubah oleh kaum muda dari masing-masing etnis. Kaum muda dari etnis Cina dapat terlihat melalui Lien Nio yang tidak mengakui bahwa dirinya etnis Cina adalah dengan selalu berpakaian layaknya orang Jawa, dan tidak mau dipanggil Yuk Lien Nio, ia bahkan memiliki nama Jawa – Tarlinah – karena ia sadar bahwa ia juga merupakan keturunan Jawa.
Kaum muda dari etnis Cina juga dapat terlihat dari Ing Liem yang tidak pernah mengunggul-unggulkan etnisnya dan tidak pernah menganggap rendah etnis Jawa. Bahkan Ing Liem beusaha ikut mengubah pandangan etnisnya terhadap etnis Jawa.
Kaum muda dari etnis Jawa dapat terlihat dari Karmodo. Pandangan umum tentang etnis Jawa adalah miskin, bergantung pada etnis Cina, dan selalu patuh pada etnis Cina dapat diubah oleh Karmodo. Karmodo dewasa berubah menjadi orang yang berwenang, jujur, tegas, berwibawa, serta tidak bergantung manurut pada etnis Cina.
Selain hal-hal yang telah dijelaskan diatas, novel Tunggak-Tunggak Jati mengangkat suasana desa yang miskin, dan bergantung pada penguasa (penguasa yang dimaksud adalah Tan Bian Biau). Suasana desa yang miskin digambarkan dengan penamaan tokoh-tokoh Kastam, Lauri, Salmah, Suwaji dsb.
3.      Latar waktu
Latar waktu pada novel Tunggak-Tunggak Jati adalah ketika adanya tragedi pembalakan liar secara besar-besaran di Jawa timur sekitar tahun 1977-an. Hal ini dibuktikan dengan cerita pada novel yang mengangkat tentang penyalahgunaan lahan sewaan oleh Tan Bian Biau. Selain itu, latar waktu juga ditunjukkan oleh diterbitkannya buku pada tahun 1977.















3.1            Penutup/Pesan
Novel Tunggak-Tunggak Jati adalah novel yang menceritakan tentang memuat keinginan dan angan-angan kolektif etnis Jawa untuk menempatkan dirinya sejajar, bahkan lebih tinggi daripada etnis Tionghoa yang dalam ordonansi warisan kolonial berada satu tingkat lebih tinggi.
Esmiet melalui novel tunggak-tunggak jati menceritakan seorang gadis, anak sodagar kaya, yang dicintai oleh pemuda (anak dari pesuruh orang tua si gadis), tetapi setelah pemuda itu menjadi seorang insinyur, gadis tersebut sudah tidak cinta lagi, karena hanya akal-akalan Bapak si Gadis, karena takut kehilangan harta benda.

0 Responses

Posting Komentar