Kosmologi dan Kosmogoni dalam Novel Anteping Tekad Anggitan Ag Suharti

Kosmologi dan Kosmogoni dalam Novel Anteping Tekad
Anggitan Ag Suharti
1.1     Keluarga Priyayi
          Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, priayi adalah orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat, misalnya golongan pegawai negeri.
                Kata priyayi konon berasal dari dua kata Jawa para dan yayi yang secara harafiah berarti "para adik". Yang dimaksud adalah para adik raja. Namun Robson (1971) berpendapat bahwa kata ini bisa pula berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta priyā, yang berarti kekasih.
            Kelas sosial atau golongan sosial merujuk kepada perbedaan hierarkis (atau stratifikasi) antara insan atau kelompok manusia dalam masyarakat atau budaya. Biasanya kebanyakan masyarakat memiliki golongan sosial, namun tidak semua masyarakat memiliki jenis-jenis kategori golongan sosial yang sama. Berdasarkan karakteristik stratifikasi sosial, dapat kita temukan beberapa pembagian kelas atau golongan dalam masyarakat. Beberapa masyarakat tradisional pemburu-pengumpul, tidak memiliki golongan sosial dan seringkali tidak memiliki pemimpin tetap pula. Oleh karena itu masyarakt seperti ini menghindari stratifikasi sosial. Dalam masyarakat seperti ini, semua orang biasanya mengerjakan aktivitas yang sama dan tidak ada pembagian pekerjaan.
            Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu gelar saja yaitu Raden.
Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya. Misalnya ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia bergelar Raden Mas, jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara, ketika menginjak akil balik gelarnya bertambah satu kata menjadi Bandara Raden Mas, ketika menapak dewasa (18 atau 21 tahun) bertambah lagi menjadi Bandara Raden Mas Aryo. Pada saat dewasa dan telah memiliki jabatan dalam hierarki kebangsawanan, ia akan memiliki gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia miliki. Misalnya ia menduduki jabatan pemimpin ksatrian maka gelarnya akan berubah menjadi Gusti Pangeran Adipati Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia jabat ia akan memilki gelar tambahan atau gelar yang berubah nama.
            Bangsawan adalaah kelas sosial tertinggi dalam masyarakat pra-modern. Dalam sistem feodal (di Eropa dan sebagainya), bangsawan sebagian besar adalah mereka yang memiliki tanah dari penguasa dan harus bertugas untuknya, terutama dinas militer. Bangsawan segera menjadi kelas turun-temurun, kadang-kadang dengan hak untuk memberikan gelar turun-temurun dan memiliki hak keuangan dan lainnya.
Di Indonesia, istilah "bangsawan" sering disamakan dengan "keturunan raja". Sebetulnya bangsawan tidak harus dari keluarga kerajaan. Misalnya di Bali, kalangan bangsawan terdiri dari apa yang dinamakan Tri Wangsa yaitu para brahmana, ksatria dan waisya. Di Jawa, di samping keturunan raja, ada kalangan priyayi yang terdiri dari kerabat para pamong praja atau pejabat pemerintahan pribumi di masa Hindia Belanda, mulai dari bupati sampai ke demang.
Di Eropa, bangsawan, di samping kerabat raja, pada awalanya adalah kerabat tuan tanah yang memegang kedudukan ini dari keputusannya sendiri, tanpa tanah tersebut dianugerahi siapa pun. Di samping itu, seorang raja atau seorang tuan tanah dapat menjadikan seseorang tuan tanah bawahannya, sebagai penghargaan jasa orang tersebut. Sistem tersebut adalah feodalisme. Kemudian, di kerajaan di mana kekuasaan sudah terpusatkan pada seorang raja, hanya raja, atau tuan tanah yang berdaulat dan tanpa atasan (seperti misalnya para pangeran dan adipati Jerman) yang boleh mengangkat seseorang menjadi bangsawan. Di masa kini misalnya, Ratu Elizabeth dari Inggris tetap boleh mengangkat seseorang sebagai bangsawan. Salah satu gelar adalah Sir, yang tidak dapat diturunkan.
Istilah buat bangsawan, darah biru adalah terjemahan dari frasa Spanyol sangre azul. Istilah ini digunakan keluarga kerajaan Spanyol dan bangsawan lainnya karena menurut mereka, kulit mereka putih sehingga pembulu darah terlihat, suatu bukti bahwa "murni" keturunan Visigoth, suatu suku asal Jerman, dan bebas dari keturunan Moor (Arab) dan Yahudi, yang kulitnya lebih hitam (kata Spanyol moreno, yang berarti "hitam", berasal dari "Moro"). Tidak ada hubungan antara frasa itu dengan warna darah bangsawan yang sebenarnya. Namun di masyarakat kuno Eropa semua kelas atas memiliki warna kulit yang pucat kemerahan dan pembuluh balik kebiru-biruan di bawah permukaan kulitnya, sehingga nampak berbeda dengan kulit masyarakat kelas petani yang berwarna kecoklat-coklatan dan pembuluh darah baliknya yang tidak terlihat jelas karena banyak bekerja di bawah sinar matahar

















2.1     Latar Belakang Pengarang
          Pengarang ingin menceritakan tentang kehidupan orang priyayi (masih keturunan keluarga kerajaan) yang sudah tidak tinggal lagi di Jawa melainkan berada di Bandung dan puncak Bogor. Hal ini terbukti dalam kutipan sebagai berikut:
            “Eh bocah nek dikandhani wong tuwa kuwi mbok aja maido. Wong arep mati kuwi, senajan sasasi sadurunge isih urip, iki wis pengawak mayit. O, ya puluh-puluh piye maneh, nek garise mung kudu tekan samono. Biyen, saumpama ndara Retno sida krama karo priyayi liyane, mesthine saiki ya durung dadi randha. Dek ndara Retno durung karma karo ndara Priyo, rak wis tau padha dirembug, arep digathukake karo ndara Sundoro. Nanging ya embuh, arep digathukna karo ndara Sundoro, olehe nganti saprene kok meksa durung kersa krama. Apese rak ya wis kagungan putra telu.” (halaman 66)
            Bogor punika kalebet satunggaling kitha karisidhenan. Senajan boten kagolong kitha ingkang ageng, nanging boten kawon wigatosanipun kaliyan Jakarta, ibu kotanipun Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta kitha raseksa, kitha intenational. Ingkang makaten punika saged dipun tingali wontenipun Tanjung Priuk, lapangan gegana ing Kemayoran, tuwin margi-margi aspal ingkang wiyar-wiyar lan gilar-gilar. Ing sakiwa tengenipun dipun pasangi lampu-lampu neon, tuwin mawarni-warni bola listrik, ingkang manawi dalu saged suka cahya mawanca warni. Ing pundi-pundi katingal gedung-gedung Pamerentah, inggih gedung-gedung gandhahanipun babadahan sipil. (halaman 12)
            Sinten ingkang boten kakena ing penggalih mriksani sekar-sekar anggrek ingkang kaindahanipun sampun kaloka ing saindenging bawana. Sinten ingkang boten kepengin sumerep Puncak, Cipanas, Pelabuhan Ratu? Mila kitha Bogor naminipun lajeng dados kasusra dumugi ing pundi-pundi, malah ngantos dumugi ing ngamanca pisan” (halaman 13)
            Sutarno ngulataken putranipun ingkang ontang-anting, Sucahya ingkang saweg dolanan bal, dipun ladosi Gimin, abdinipun. Sucahyo watawis umuripun tigang taunan, badanipun kiyeng lan seger. Larenipun ndemenaken, kapara radi kogung, bawanipun lare boten wonten tunggalipun. Kuluwarga Sutarmo sampun dangu dedumung wonten ing Bogor. Asalipun makaten saking Jawi Tengah, nanging sapunika rumaos sampun cocok lan kraos dados warganipun kitha Bogor. (halaman 13)
            Hal tersebut diatas membuktikan bahwa pengarang ingin menceritakan tentang kehidupan keluarga Sutarmo yang berasal dari Jawa Tengah, namun masih menjunjung tinggi budaya dan kebiasaan Jawa. Bahakan keluarga tersebut menggunakan bahasa Jawa setiap harinya.
















2.3     Ideologi Pengarang
            Pengarang ingin membuat cerita yang berada didalam keluarga ningrat yang berasal dari Jawa tengah yang menetap di Jawa Barat namun tetap memegang teguh budaya Jawa. Dan penulis ingin memasukan unsur modern didalam ceritanya. Hal tersebut terbukti dalam kutipan sebagai berikut:
            Bener mbok tuwa ora disingkirake, nanging umume sing tuwa banjur ngalah, jalaran ora keconggah nandhingi marune. Pokoke ing donya iki mung ana sesanti: Sapa sing kuwat, kuwi sing menang. Aku ora mung arep nyalahake kaum priya thok. Senajan kaum wanita hiya ora kurang sing gelem tumindak mangkono iku. Kaya Liz Taylor lan bintang-bintang layar putih liyane umpamane, marga wis kakehan dhuwit lan ayu, sempurna rupane, bab ganti pasangan wis dudu perkara maneh. (halaman 60)
            Manawi ngajengaken dinten Minggu, utawi dinten-dinteng ageng sanesipun, andalidir cacahipun mobil-mobil kados dene: Bell Air, Cherolet, Mercedes, Buick, Impala, holden, V W lan sapatunggalanipun ingkang sami dipun bujeng wekdal lan kawontenan. Hawanipun benter, bledugipun boten kendat-kendat. (halaman12)
            Pengarang juga menuliskan hasil karyanya didalam Novel Anteping Tekad didalam bahasa Jawa krama. Bahasa Jawa krama dimunculkan oleh pengarangnya didalam bab 2 dan jelas tertuliskan didalam prolognya. Hal tersebut terrbukti dalam kutipan:
Bogor punika kalebet satunggaling kitha karisidhenan. Senajan boten kagolong kitha ingkang ageng, nanging boten kawon wigatosanipun kaliyan Jakarta, ibu kotanipun Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta kitha raseksa, kitha intenational. Ingkang makaten punika saged dipun tingali wontenipun Tanjung Priuk, lapangan gegana ing Kemayoran, tuwin margi-margi aspal ingkang wiyar-wiyar lan gilar-gilar. Ing sakiwa tengenipun dipun pasangi lampu-lampu neon, tuwin mawarni-warni bola listrik, ingkang manawi dalu saged suka cahya mawanca warni. Ing pundi-pundi katingal gedung-gedung Pamerentah, inggih gedung-gedung gandhahanipun babadahan sipil. (halaman 12)
            Tetapi didalam bab 7 dituliskan bahasa ngaka. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan sebagai berikut:
            Gimin saya suwe saya kendel. Manawa aku pinuju ijen, sok banjur nyedhaki lan nyoba arep ngejak guneman. Wangune ora bisa ngerti, manawa aku ewa lan gila karo dheweke. Kang mengkene iki nambahi bingung lan pakewuhku. Aku banjur sok ketuwuhan gagasan, arep nemoni mas.... mas Sundoro, manawa pinuju katon lenggah ijen lan banjur nyritakake karibedanku. Nanging aku tansah mandheg mangu, ijen pinuju lenggah ijen sajak kok katon angker lan merbawani , marakake atiku ngrasa cilik. Bener wis tau ngendika, manawa ana karibedan apa-apa didawuhi matur. Apa ta sebabe, saben-saben ana karepotan, mesthi banjur ketuwuhan pikiran kepingin nyuwun pangayome. (halaman 56)













2.4     Hubungan pengarang dan Karyanya
            Pengarang ingin menuliskan karyanya yang menceritakan tentang keluarga Jawa yang tinggal di Bogor. Didalam novelnya juga terdapat pemilihan kata-kata (diksi) yang bagus. Pengarang memadukan ragam bahasa ngaka dan bahasa krama. Namun didalam novel ini tidak ada keterlibatan pengarang didalam cerita. Disini pengarang hanya menuangkan apa yang ada didalam pemikirannya untuk dituliskan didalam sebuah karya. Tidak menceritakan yang berkaitan dengan dirinya atau apa yang dialaminya sendiri.
            “kusampaikan salam padamu, juwita....” Ny. Sutarno saweg rengeng-rengeng kaliyan ngelapi kursi, nalika mireng ulukipun tamu. (halaman 5)
            Ing barisan anyar iki aku arep nggambarake bab pemudha Sundoro sing wis pepacangan karo kenya ayu kang aran Utami. Suka rumangsaku, pasangan iki kena diarani ideal 100%. Pemudhane gantheng, sang kenya ayu, merak ati, luwes ngresepake sak pari polahe. Grapyak, ora diri. Aku ora bosen-bosen nyawang pasangan iki. Sok prentul, aku ketuwuhan gagasan, saibaya yen aku bisa mangkono. Mbokmenawa urip sing kaya ngono kuwi sing diarani, ngicipi urip ana ing suwarga. Nanging gagasan sing mengkono mau enggal dak kipatake manawa aku wis ngrumangsani kaanane nasibku. Nanging sok-sok pikirku pancen ndableg. Apa kancaku Istinah ora dadi garwa dokter? Sapa sing ngerti, nasibku ya bisa mangkono, bakal bisa gathuk karo pemuda idham-idhamanku. Nanging gagasan iki iya banjur tak bantah dhewe. (halaman 26-27)
            Dek wingi mbok Yem kandha, mas Sundoro rada ora kepenak lan banjur mundhut dipeteki. Ah aku satemene meri banget karo mbok Yem, bisa bludhas-bludhus mlebu metu ana ing kamare, mijeti lan geguyon barang. O, sapira kepenginku bisa wawan gunem saben dina karo priyayi iki. Bener isih tetep sumeh lan grapyak, nanging embuh kapriye, aku ngrasa manawa ing antarane jejaka iki karo aku, kaya-kaya ana jurang sing ora bisa diliwati. Satemene ya mengkono. Priya iki gagah, pangkat, drajat, abandabandu. Balik aku mung bocah wadon sing tanpa teges, papa cintraka. (halaman 58)
            Sundoro sampun boten saged ngampah nepsunipun malih, Gimin dipun purugi lan terus dipun oyok-oyok “kowe ora ditimbali, wani-wani mlebu kamar. Lan banjur omong ndleming. Rungokna ngendikaku iki. Nek kowe nganti wani-wani sembrono karo bendaramu iki, kowe adhep-adhepan karo aku!” (halaman 74)
            Irah laheng mundur. Wonten sawatawis dangu Utami taksih pepanggihan kaliyan pacanganipun. Utami kados-kados kasupen dhateng sayahipun, saumpami Ir. Sundoro laheng boten wicanten, “Kowe ora perlu ngaso, Ut?” (halaman 84)
            Ir. Sundoro lajeng mbikak lemantun, mendhet bongkokan arta kertas, ingkang katingal wonten seratanipun RP 500.000,-. Lajeng mendhet doos alit, isi sesupe, mripatipun berleyan mas 19 cacahipun, awujud wajikan. Serat, sesupe, arta lajeng dipun lebetaken ing amplop panjang lan lajeng dipun tutup. Nanging taksih kemutan punapa-punapa ingkang dereng katut kalebetaken, Ir. Sundoro lajeng medal saking kamar, teus dhateng wingking, madosi Indah. Tanpa merduli dhateng wontenipun para abdi ingkang sami nggatoskaen, terus lumebet dhateng sepenipun Indah. (halaman 85)

0 Responses

Posting Komentar