Kosmologi
dan Kosmogoni Novel Jaman Kawuri
Anggitan
Dyah Sulistyorini
1.1
Menceritakan
Tentang Wali
Novel Jaman Kawuri ini menceritakan
tentang wali, terutama Sunan Giri yang berada di Gresik. Sunan Giri adalah nama salah
seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton,
yang berkedudukan di daerah Gresik,
Jawa Timur.
Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa,
yang pengaruhnya bahkan sampai ke Madura,
Lombok,
Kalimantan,
Sulawesi,
dan Maluku.
Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata,
Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudro. Ia lahir di Blambangan
tahun 1442,
dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas,
Gresik.
Beberapa babad
menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia
adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah.
Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak
Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat
lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah
SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin
Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali
al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad
al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi
ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi
al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah
Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana
Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana
Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah
berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah
BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat
Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai
(Jeumpa?) dan Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI).
Perkawinan Putri Pasai dengan Dipati Hangrok melahirkan seorang putera. Putera
ini yang tidak disebutkan namanya menikah dengan puteri Raja Bali, kemudian
melahirkan Pangeran Giri. Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai yang diambil
isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI).
Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.
Sunan
Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq,
seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri
Prabu Menak Sembuyu penguasa
wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap
telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia
dipaksa ayahandanya (Prabu Menak Sembuyu) untuk
membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu, Dewi Sekardadu dengan rela
menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini.
Versi lain
menyatakan bahwa pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak mendapat respon
baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting dewi sekardadu (putri
tunggal Menak sembuyu sehingga kalau jadi suaminya, merekalah pewaris tahta
kerajaan. Ketika Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya, kedua patih
membuang bayi sunan giri ke laut yang dimasukkan ke dalam peti.
Kemudian, bayi
tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) - yakni sabar dan sobir
- dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan
pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi
tersebut Joko Samudro.
Ketika sudah
cukup dewasa, Joko Samudro dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya)
untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah
mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid
kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang),
untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang
tak lain adalah ayah Joko Samudro. Di sinilah, Joko Samudro yang ternyata
bernama Raden Paku mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
Setelah tiga
tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul
Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren
giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa,
giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan
Sunan Giri.
Pesantren Giri
kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya
sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan,
Sulawesi,
dan Maluku.
Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri
Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi
sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat
beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan
dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan,
dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental
Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
Didalam novel
Jaman Kawuri anggitan dari Dyah Sulistyowati juga diceritakan tentang Sunan
Giri. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan sebagai berikut ini:
Enjingipun kula badhe sowan dhateng
pasarean ing ngampel denta inggih punika pasareaning wali ing jaman kina,
cariyosipun sampun kasebut wonten ing serat babad tanah Jawi. Katelahipun
dumugi sapriki pakampumpungan ngriku punika dados pakampunganipun tiyang bangsa
Arab. Kampung Ngampel punika saking kampung Sasak boten patos tebih. Sadumugi
kula lajeng menggok mangaler mlebet konten malih. Ing ngriku wau cepurining
pasareanipun sinuhun ing Ngampeldenta, ingkang ngirid kula anedahi,
pasareanipun ingkang Sinuhun ingkang munggul pinacak suji, namung mawi sekarang
(kijing) sela cemeng lugas, boten mawi kacungkup dados namung ngenthak-enthak
kemawon. (halaman 16)
Kulo rumaos ngantos kaweken, saben
kula mangsuli boten nyukani, lajeng melehaken, wonten punapa lare-lare wau sami
sampeyan sukani? Dangu-dangu malah nerayam purun nggogohi kanthongan rasukan,
wusana inggih lajeng kula sukani, anangingmalah dados damel, pundi ingkang
sampun kula sukani let sakedhap malih wangsul saha cariyos dereng kula sukani,
sampun tansah makaten kemawon, saking kakening manah kula, lajeng kula
kendelaken kemawon, sanadyan sami ngetutaken tuwin sajak membek-membek nangis
meksa kula kendelaken kemawon, kula ngantos dumugi pondhokan lare-lare wau
saweg sami wangsul. Ingkang kula pondhoki cariyos, ‘O, makaten wau sampun
damelipun, aluwung punika lare-lare ing ngriki, boten sapintena, witikna menawi
lare-lare ingkang wonten pasarean ing Giri (Gresik) panedhanipun menawi boten
dipun sukani puru misuh punapa. (halaman 35)
2.1 Latar belakang Pengarang
Pengarang novel Jaman
Kawuri ingin menceritakan Sunan Giri yang berasal dari Gersik dan mengangkat
nilai nilai luhur yang dipunyai oleh Sunan Giri. Sunan Giri
membangun Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa,
yang pengaruhnya bahkan sampai ke Madura,
Lombok,
Kalimantan,
Sulawesi,
dan Maluku.
Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata,
Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudro. Ia lahir di Blambangan
tahun 1442,
dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas,
Gresik.
Beberapa babad
menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia
adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah.
Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak
Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat
lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah
SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin
Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi,
Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad
al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi
ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi
al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah
Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana
Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana
Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah
berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah
BaAlawi Hadramaut.
2.2 Ideologi Pengarang
Dalam novel
Jaman Kawuri, Dyah Sulistyorini menceritakan sunan yang berada ddalam tlatah
Gresik. Pengarang juga memilih bahasa krama untuk menceritakan novel Jaman
Kawuri ini. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan sebagai berikut:
Kacariyos ing redi wau kala rumiyin kerep
kageme lelangen ingkang Sinuhun Ambangun Tapa yen pinuju kesekelan panggalih,
wonten ing ngriku lajeng saged penther, kados leres manawi ingriku dados
padunungan kkasengseman, amargi kawontenanipun saged damel senengipun manah.
Ningali managaler katingal griya-griya atharik-tharik manggen wonten ing
pasiten wardin, griyanipun salong sumamar kaling-kalingan gogodhonganing
kekanjengan ing sisih kilen katingal lumahing sangten toyanipun alembak-lembak,
kapal ingkang sami labuh katingal sami mepet ing dharatan, kukusipun kumulun
kados semu sayah ing lampahipun, lajeng aningali saubenging keblat, katingal redi
ndhendheng kados papageripun kitha. (halaman 34)
Dalam novel
Jaman Kawuri ini juga Dyah Sulistyorini juga menceritakan juga menggunakan
bahasa kawi. Hal tersbut dapat dibuktikan melalui kutipan sebagai berikut:
Bener banget aturira iku, adhi
ajeng, ana babasan jangka lan jangkah, sanadyan kajangkaa yen ora kajangkah,
iya ora nuli bisa katrima kayata, lelakone Jaka Tingkir, ing nsliks kathudhung
marang Sultan Demak, sebab saka banget susahing atine, banjur andadagan ana
kubure wong tuwane kang dikubur ing Pengging, iya iku kawisik angengera kyai
ageng Banyubiru, ing kono margane oleh kamulyan. Iku adhi ajeng kang sun telad.
(halaman 56)
Kocapa llampahing urdena sampun
dumugi nagari Sala, lajeng malebet ing loji ageng, angaturaken serat wau
dhateng kumendhang ageng. Sareng kumendhan maos serat saking Klaten
agedheg-gedheg saha sanget getunipun, teka sang prabu karsa tindak pribadi.
Kumendhan enggal dhateng karisidenan anggaturaken serat saking Klaten wau.
Sasampuning kawaos dening kanjeng tuwan residen, sakalangkung ngungun
tindakipun sang nata teka boten asuka wuninga. Residen dhawuh pasang kareta,
tuwan residen amanggagem dhines, lajeng tindak malebet ing kedhaton, kairing
tuwan kemundhan tuwin tuwan sekertris. Sareng dumugi kori Kamandhungan, tuwan
residhen sakancanipun tumedhak lajeng tindak, sadumuginipun kori Srimanganti
lereh pinanggih bupatiingkang caos.
2.3 Hubungan Pengarang dan Karyanya
Pengarang ingin
menceritakan daerahnya dan menanamkan sifat budi luhur dari Sunan Giri. Sunan
Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq,
seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri
Prabu Menak Sembuyu penguasa
wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap
telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia
dipaksa ayahandanya (Prabu Menak Sembuyu) untuk
membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu, Dewi Sekardadu dengan rela
menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini.
Versi lain
menyatakan bahwa pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak mendapat respon
baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting dewi sekardadu (putri
tunggal Menak sembuyu sehingga kalau jadi suaminya, merekalah pewaris tahta
kerajaan. Ketika Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya, kedua patih membuang
bayi sunan giri ke laut yang dimasukkan ke dalam peti.
Kemudian, bayi
tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) - yakni sabar dan sobir
- dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan
pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi
tersebut Joko Samudro.
Ketika sudah
cukup dewasa, Joko Samudro dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya)
untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah
mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid
kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang),
untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang
tak lain adalah ayah Joko Samudro. Di sinilah, Joko Samudro yang ternyata bernama
Raden Paku mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
Setelah tiga
tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul
Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren
giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa,
giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan
Sunan Giri.
Pesantren Giri
kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya
sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan,
Sulawesi,
dan Maluku.
Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri
Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi
sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat
beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap
berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak
seperti Jelungan, dan Cublak Suweng; serta beberapa gending
(lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar